dari AKATIGA fondation
Tahun 2012
telah berakhir. Dalam bidang perburuhan, bersatu dan bangkitnya buruh
dan serikat buruh dalam gerakan yang masif, memiliki konsep dan
terencana (atau dalam strategi MPBI disebut KLA â Konsep, Lobby, Aksi)
adalah catatan penting yang niscaya akan menjadi bagian dari sejarah
perburuhan Indonesia. Pada saat yang sama, penggunaan hasil-hasil
penelitian sebagai basis advokasi serikat buruh terutama dalam isu upah
layak, outsourcing dan BPJS juga makin memperlihatkan
kematangan gerakan serikat buruh. Setelah itu semua, apa kiranya yang
akan terjadi pada 2013? Isu-isu apa yang akan muncul ke permukaan
dan menjadi fokus advokasi? Bagaimana pula dinamika aktor-aktor
perburuhan: buruh â serikat buruh, pengusaha â asosiasi pengusaha
dan pemerintah?
Belajar
dari apa yang telah terjadi dan melihat beberapa rencana kebijakan
pemerintah untuk 2013, berikut adalah prediksi AKATIGA âPusat Analisis
Sosial mengenai isu-isu yang akan menjadi fokus para aktor perburuhan
dan dinamika actor perburuhan. Tulisan ini sekaligus akan memberikan
rekomendasi kepada para pihak mengenai apa yang sebaiknya dilakukan
untuk menghadapi tahun 2013.
Tiga isu utama yang selama ini menjadi fokus utama gerakan serikat buruh yaitu upah layak, outsourcing
tenaga kerja dan BPJS masih akan menjadi isu sentral. Selain 3 isu
tersebut, isu lain yang sangat mungkin diangkat oleh serikat buruh pada
2013, selain perlindungan TKI, adalah Rumah Layak untuk Rakyat.
Upah Layak
Isu upah layak masih akan menjadi isu sentral, setidaknya karena dua hal. Pertama,
tuntutan buruh mengenai komponen KHL sebanyak 86 komponen untuk buruh
lajang dan 122 komponen untuk buruh berkeluarga belum terpenuhi. Kedua,
adanya kesenjangan upah antar daerah yang begitu tinggi. Sementara itu
dari sisi pengusaha, penolakan terhadap kenaikan UMK 2013 yang sangat
kuat akan makin mengkristal ketika berhadapan dengan tuntutan komponen
KHL, karena pada saat yang sama pengusaha juga dihadapkan pada kenaikan
TDL dan BBM yang secara langsung akan meningkatkan biaya produksi dan
transportasi.
Selama
ini, serikat buruh melalui Dewan Pengupahan di daerah terpaku pada
perundingan upah di tingkat Kota/ Kabupaten. Akibatnya kemudian, secara
umum tinggi rendahnya UMK sangat ditentukan oleh kekuatan wakil buruh
yang duduk di Dewan Pengupahan Daerah. Kekuatan di sini bukan hanya
diukur dari kemampuan bernegosiasi, tapi lebih dari itu kemampuan untuk
memanfaatkan data-data dari berbagai sumber sebagai bahan untuk
menegosiasikan besaran UMK.
Dampak
dari perundingan upah yang dilakukan di tingkat Kabupaten/ Kota ini
adalah kesenjangan upah antar daerah yang sangat tinggi. Di Jawa Barat
misalnya, rata-rata UMK Kab. Bekasi lebih dari 2,5 kali UMK Kab.
Majalengka. Sementara itu di Jawa Timur, wilayah yang berbatasan
langsung yaitu Kab.Pasuruan dan Kota Pasuruan perbedaan upahnya mencapai
Rp 524.200.
Apa
implikasi dari perbedaan upah yang tajam ini? Dari sisi pengusaha,
sangat mungkin pengusaha akan menghitung ulang biaya produksi dan
mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan relokasi industry ke
daerah-daerah yang upahnya lebih rendah. Sementara dari sisi buruh,
makin tingginya tingkat upah di satu daerah dibandingkan upah di daerah
lain akan meningkatkan arus migrasi menuju daerah-daerah dengan tingkat
upah yang lebih tinggi. Sementara situasi ini belum mencapai
kesetimbangan, dapat dipastikan bahwa dari sisi buruh, daerah-daerah
dengan UMK yang relatif rendah akan terus bergejolak menuntut kenaikan
UMK, sementara dari sisi pengusaha akan terus mencari cara untuk menekan
biaya produksi. Inilah sebabnya, maka pada 2013, AKATIGA memprediksi
bahwa isu upah layak ini masih menjadi isu utama.
Outsourcing Tenaga Kerja
Isu outsourcing tenaga kerja juga masih akan menjadi isu sentral. Persoalan outsourcing tenaga kerja akan makin mendapat perhatian dari serikat buruh karena dampak dari sistem kerja outsourcing mulai disadari oleh buruh dari berbagai kelompok industri. Kalau awalnya perlawanan terhadap outsourcing
tenaga kerja muncul dari buruh industri manufaktur, maka pada 2013 ini,
buruh dari sektor lain seperti sektor pendidikan, media dan
telekomunikasi mulai aktif ikut dalam gerakan melawan praktik outsourcing
tenaga kerja. Sementara itu, Permenaker no 19 tahun 2012 masih akan
dipersoalkan oleh beberapa kelompok serikat buruh karena dianggap
diskriminatif terhadap 5 kelompok pekerjaan yang boleh di-outsource sementara law enforcement terhadap Permenaker 19 tahun 2012 ini akan diawasi secara makin ketat oleh serikat buruh.
Dari sisi
pengusaha, sebenarnya tidak ada perbedaan yang berarti antara Permenaker
no 19 Tahun 2012 dengan UU 13 tahun 2003 sehingga dari sisi regulasi
tidak terlalu menjadi persoalan. Sekalipun demikian, pengusaha pasti
akan mencari cara untuk melakukan efisiensi di tengah pembatasan
penggunaan buruh outsourcing. Inilah sebabnya, isu outsourcing masih akan mewarnai situasi perburuhan 2013.
BPJS
Hingga
akhir 2012, pemerintah belum mengeluarkan satupun peraturan pelaksanaan
UU BPJS sesuai yang diamanatkan oleh UU tersebut. Hal ini mendorong
serikat buruh untuk secara masif melakukan berbagai upaya untuk
memastikan pemerintah melakukan tugasnya, sebab menurut Psl. 60 ayat 1
UU no 24 tahun 2011 tentang BPJS, BPJS Kesehatan mulai beroperasi
menyelenggarakan Jaminan Kesehatan pada 1 Januari 2014. Sementara itu
BPJS Ketenagakerja-an sudah harus mulai bekerja (menyelenggarakan
Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Program Jaminan Hari Tua, dan Program
Jaminan Kematian) pada 1 Juli 2015.
Isu BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyisakan persoalan yang cukup
penting karena adanya sekelompok besar serikat buruh yang secara
frontal menolak berlakunya UU BPJS, bahkan telah melakukan upaya boikot
dengan rencana penarikan Jaminan Hari Tua (JHT) dari anggotanya yang
tersimpan di PT. Jamsostek. Meskipun secara politis maupun ekonomis
upaya penarikan JHT itu tidak akan mempengaruhi pemberlakuan UU BPJS,
tetapi gerakan tersebut memperlihatkan bahwa gagasan dasar mengenai SJSN
dan BPJS sebagai Badan Penyelenggara SJSN belum diterima secara merata
oleh seluruh rakyat Indonesia. Salah satu masalah yang perlu diputuskan
secara cepat dan tepat adalah besarnya iuran yang harus dibayarkan oleh
peserta jaminan sosial, pengusaha maupun Pemerintah.
TKI dan Rumah Layak untuk Rakyat
Selain
isu-isu tersebut di atas, isu lain yang juga akan menjadi perhatian
serikat buruh adalah masalah perlindungan TKI dan rumah layak untuk
rakyat. Kedua isu ini menjadi pokok perhatian buruh dan serikat buruh
terutama karena: Pertama, keduanya menjadi agenda pembahasan
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2013 yaitu RUU tentang
Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan RUU tentang Tabungan
Perumahan Rakyat. Pembahasan di Parlemen adalah momen penting bagi
advokasi kebijakan apapun, termasuk dua isu tersebut. Kedua,
TKI adalah bagian dari kaum pekerja dengan persoalan-persoalan yang
selama ini belum mendapatkan perhatian secara cukup dari pemerintah
termasuk kasus-kasus hukum yang dialami oleh TKI di luar negeri. Ketiga,
isu Rumah Layak untuk Rakyat akan menjadi salah satu agenda perjuangan
serikat buruh karena pemerintah (cq. Kementerian Perumahan Rakyat)
terbukti belum mampu bekerja secara optimal. Penyerapan anggaran yang
sangat rendah di Kementerian itu pada 2012 di satu sisi, dan kebutuhan
dasar rakyat (termasuk buruh) untuk hidup layak (termasuk memiliki/
mengakses rumah yang layak huni), bertemu dalam isu ini. Menurut laporan
Seknas Fitra (www.properti.kompas.com)
Kementerian Perumahan Rakyat memiliki anggaran sebesar Rp 5,928 triliun
dalam APBNP 2012. Namun demikian, penyerapan pada semester satu hanya
Rp 110 miliar atau 1,9 % terhadap APBNP. Fitra melansir, rendahnya
realisasi anggaran terulang seperti tahun lalu. Rata-rata Kementerian
tersebut hanya menyerap anggaran kurang dari 20%. Maka 2013 akan menjadi
awal bagi Serikat buruh untuk mengadvokasi isu Rumah Layak untuk
Rakyat, terutama melalui perubahan regulasi yang memungkinkan buruh
memperoleh kemudahan untuk memiliki/ mengakses rumah yang layak huni.
Apa yang harus dilakukan?
Belajar
dari keberhasilan dan kegagalan gerakan serikat buruh pada 2012 dalam
mempengaruhi kebijakan pemerintah, strategi yang sama yaitu mendorong
lahirnya kebijakan yang berbasis data/ riset (research based policy)
tampaknya harus terus menjadi agenda utama serikat buruh. Selain
dengan memperkuat tim peneliti di tubuh organisasi serikat buruh, cara
lain yang telah dilakukan dan terbukti efektif adalah membangun
kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian seperti AKATIGA-Pusat
Analisis Sosial. Dengan cara ini, maka pada 2013 dapat diharapkan akan
makin banyak kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah yang lebih pro buruh,
lebih pro rakyat.