CATATAN AKHIR TAHUN PERBURUHAN INDONESIA 2012
Indrasari Tjandraningsih – AKATIGA
Sepanjang tahun 2012, dunia perburuhan dan hubungan industrial di
Indonesia dihiasi dinamika yang amat tinggi. Aksi-aksi buruh turun ke
jalan-jalan utama dan pusat-pusat pemerintahan di berbagai kota besar di
Indonesia menjadi penanda utamanya. Ada tiga hal yang menjadi tuntutan
buruh melalui aksi-aksinya yakni kenaikan upah, penghapusan praktik
outsourcing tenaga kerja dan tuntutan jaminan sosial.
Tuntutan untuk perbaikan nasib terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi
yang stabil di kisaran angka 6.0 % – 6.5% selama lima tahun terakhir,
kecuali untuk tahun 2009. Dalam konteks ini kaum buruh menagih
pemerataan hasil pertumbuhan. Aksi buruh di Indonesia melengkapi
dinamika buruh di Asia Tenggara. Seperti di Indonesia buruh di Thailand,
Malaysia bahkan Singapura bergerak menuntut perbaikan kondisi dan
kesejahteraan yang lebih besar. Aksi buruh di Indonesia sepanjang tahun
ini memperlihatkan dua hal utama yakni lemahnya pemerintah dan
menguatnya gerakan buruh.
Lemahnya Pemerintah.
Aksi buruh bagaikan gebrakan yang membangunkan pemerintah untuk
bergerak membenahi berbagai persoalan perburuhan di Indonesia yang
selama ini diabaikan. Seluruh jajaran pemerintah dari setingkat menteri
Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri hingga para kepala daerah dan
kepala dinas instansi terkait dipaksa turun berdialog dengan buruh untuk
mencari jalan keluar penyelesaian persoalan.
Pada saat yang sama aksi buruh juga mengirimkan pesan yang amat jelas
betapa pemerintah amat lemah dalam menegakkan peraturannya sendiri.
Sudah menjadi pengetahuan umum bagaimana pengusaha melanggar ketentuan
upah minimum, melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa prosedur dan
syarat yang sudah diatur, melakukan tindakan anti serikat dengan memecat
para aktivis serikat buruh dan menerapkan outsourcing tenaga kerja
yang tidak sesuai dengan peraturan , dan semua itu terjadi secara massif
tanpa tindakan dan sanksi dari instansi yang berwenang.
Berbagai jalur formal yang tersedia untuk meminta perlindungan
pemerintah jauh dari efektif dan buruh cenderung terus menjadi pihak
yang kalah. Upaya penyelesaian sengketa perburuhan melalui pengadilan
hubungan industrial selain memakan waktu dan biaya yang banyak, juga
tercemar korupsi.
Menguatnya Gerakan Buruh
Lemahnya penegakan peraturan dan tidak efektifnya jalur formal memaksa
buruh mengambil jalur nonformal dengan mengerahkan kekuatan massa untuk
menekan pemerintah agar lebih perduli dan memberikan perlindungan
terhadap hak buruh. Tekanan kekuatan massa terbukti efektif karena
membuat pemerintah bergerak untuk memenuhi tuntutan buruh dan pendulum
kebijakan bergerak ke arah buruh. Tuntutan kenaikan upah minimum secara
signifikan yang di beberapa provinsi mencapai 40–sekitar rata-rata 40% –
dan pengaturan oursourcing tenaga kerja yang lebih ketat, dipenuhi oleh
pemerintah pusat.
Tekanan massa untuk menuntut kenaikan upah dan mengatur outsourcing
tenaga kerja, sebagaimana dinyatakan oleh Said Iqbal presiden FSPMI
(Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) – serikat buruh terkuat di
Indonesia saat ini – yang juga presiden KSPI (Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia) hanya merupakan satu tahap dari strategi gerakan
buruh yang menggabungkan konsep-lobby-aksi (KLA). Tuntutan kenaikan upah
dan pengaturan outsourcing dirumuskan dalam sebuah pemahaman persoalan
yang antara lain didasarkan pada hasil penelitian.
AKATIGA telah menghasilkan penelitian mengenai upah layak
(AKATIGA-SPN-GARTEKS-FES 2009) dan praktik outsourcing
(AKATIGA-FSPMI-FES 2010) yang masing-masing memperlihatkan bahwa upah
buruh sektor manufaktur memang masih belum dapat memenuhi kebutuhan
hidup layak dan bahwa praktik outsourcing tenaga kerja telah
mendiskriminasi, menghilangkan kepastian kerja serta menurunkan
kesejahteraan buruh. Kedua hasil penelitian ini digunakan oleh serikat
buruh untuk menyusun tuntutan perbaikan upah dan praktik outsourcing.
Tuntutan revisi peraturan menteri no 17/2005 mengenai komponen KHL
didasarkan pada hasil survey kebutuhan hidup layak yang dilakukan
AKATIGA bersama Serikat Pekerja Nasional dan Federasi Garmen dan Tekstil
SBSI yang menghasilkan kebutuhan hidup layak sebanyak 8 komponen dan
122 unit kebutuhan sebagai koreksi 7 komponen dan 46 unit kebutuhan yang
ditetapkan dalam peraturan menteri di atas.
Tuntutan pengaturan outsourcing tenaga kerja secara ketat juga
dibangun berdasarkan hasil penelitian AKATIGA bersama FSPMI. Penelitian
ini menemukan terjadinya pelanggaran yang meluas praktik outsourcing
tenaga kerja dan kondisi yang amat merugikan buruh outsourcing karena
upah yang diterima hanya 75% dari upah buruh tetap meskipun melakukan
pekerjaan yang sama yakni pekerjaan inti di bidang produksi. Selain itu
buruh outsourcing juga tidak punya kepastian kerja karena hanya
dipekerjakan dalam jangka pendek antara 3 bulan hingga 12 bulan.
Hal ini menunjukkan bahwa gerakan buruh sudah semakin cerdas menyusun
strategi advokasi dan tuntutannya dengan menggunakan hasil penelitian
yang sahih. Ini berarti strategi penguatan gerakan buruh sudah lebih
maju dibandingkan proses penyusunan kebijakan perburuhan yang dibuat
oleh pemerintah yang seringkali tidak jelas asal-mulanya. Undang-undang
13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan rencana revisinya yang selalu gagal
merupakan contoh penyusunan kebijakan yang tidak jelas basis
argumentasinya sehingga mudah dipatahkan dan digugat.
Tampaknya sudah saatnya pemerintah mengambil pelajaran dari gerakan
buruh yang mulai memperjuangkan haknya dengan mengacu pada bukti-bukti
dan hasil penelitian. Rumusan kebijakan yang menggunakan penelitian yang
sistematis dan komprehensif dapat menghasilkan kebijakan yang memiliki
basis yang kuat dan pemerintah tidak ragu untuk menerapkannya.
No comments:
Post a Comment