JAKARTA - Aliasi Jurnalis Independen (AJI) menyebut kesejahteraan profesi jurnalis di ambang titik nadir. Jurusan jurnalis di perguruan tinggi sepi peminat karena profesi jurnasil kurang menjanjikan.
"Kesejahteraan wartawan ada di titik nadir. Lihat saja, jurusan jurnalistik tidak lagi diminati di Universitas-universitas kita sekarang. Karena wartawan itu miskin dan kurang sejahtera," kata Ketua AJI Eko Maryadi, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR, Selasa (9/7/2013).
Sambung Eko, seharusnya jurnalis harus diimbangi dengan kesejahteraan yang cukup dalam melaksanakan profesinya. AJI menilai, ukuran kesejahteran jurnalis di Jakarta adalah bergaji Rp4,5 juta. Pertimbangannya komponen yang dibutuhkan untuk para jurnalis bekerja.
AJI juga mengkritisi kondisi yang didapatkan koresponden, kontributor, stringer atau jurnalis tanpa kontrak kerja yang biasanya ada di daerah. Mereka dibayar berdasarkan berita yang ditayangkan.
AJI mencatat, harga berita yang ditayangkan untuk media online terendah Rp10 ribu per berita dan tertinggi Rp35 ribu per berita. Sedangkan, untuk koran atau media cetak mulai dari Rp50 ribu per berita sampai Rp350 ribu untuk berita panjang. Untuk televisi mulai dari Rp125 ribu hingga Rp350 ribu per berita.
"Pendapatan koresponden, kontributor atau stringer tidak sampai Upah Minimum Kota (UMK). Di Jakarta saja, masih ada yang memberikan upah Rp1,5 juta. Itu soal kesejahteraan," paparnya.
Dalam rapat ini, AJI juga mengusulkan supaya AJI sebagai Serikat Tenaga Kerja ikut dimasukan ke dewan pengupahan untuk menentukan standar kesejahteraan jurnalis. Karena selama ini AJI tidak pernah diundang dalam rapat pengupahan tersebut.
"Kalau boleh Komisi IX juga nanti memanggil perusahaan-perusahan media besar, menengah dan kecil. Kedua, sebagian wartawan kadang enggak sadar kalau mereka itu buruh. Mereka dicekoki perusahaan sebagai profesional. Saya mengajak agar teman-teman wartawan itu sadar kalau posisi mereka adalah buruh," tegas Eko.
Selain masalah kesejahteraan, sambung Eko, jurnalis juga dihadapkan dengan tidak adanya perlindungan hukum serta banyaknya perusahaan media yang alergi dengan serikat profesi jurnalis.
"Jurnalis juga tidak luput dari ancaman dan gugatan hukum. Dalam banyak kasus, jurnalis menjadi korban. Jika ada yang tidak suka dengan beritanya, maka rumahnya diserang, bahkan dibakar," jelas Eko.
Anggota Dewan yang hadir dalam rapat setuju supaya wartawan membuat serikat pekerja untuk bisa memperjuangkan kesejahteraannya. Anggota Komisi IX, Poempida Hidayatullah memberikan pandangan, saat ini memang industri media maju dengan pesat.
"Pengawasan ke arah media memang kurang. Saya tahu memang sekarang zamannya pencitraan. Tapi apapun peraturan tetap harus kita tegakkan," kata Poempida
Anggota Komisi IX dari Fraksi PDIP Rieke Dyah Pitaloka juga memberikan pandangannya. Menurutnya, perlu revisi baru Peraturan Menteri tentang Komponen Hidup Layak (KHL). Dia juga mendorong adanya pendirian serikat pekerja media.
"Saya sepakat, memang harus didorong adanya serikat pekerja di perusahan media. Di kasus yang kita tangani, memang minim sekali bantuan ekspose dari media. Kita juga sudah tetapkan waktu itu Rp4 juta untuk upah minimun yang kita perjuangkan bersama AJI untuk wartawan," papar Rieke. (trk)
No comments:
Post a Comment